Pendidikan yang Miskin Arah: Terjepit antara Industri
dan Birokrasi
Pendidikan seharusnya menjadi ruh peradaban. Namun dalam praktiknya hari ini, pendidikan justru terjebak dalam dua kutub ekstrem: logika industri dan kungkungan birokrasi. Di antara keduanya, kita kehilangan misi sejati pendidikan: membentuk manusia yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan.
Kurikulum
berganti mengikuti irama kekuasaan, lembaga pendidikan lebih sibuk mengejar
akreditasi dan peringkat, dan para pendidik terperangkap dalam rutinitas
administratif. Pendidikan kita semakin menjauh dari ruh pembebasan dan makin
dekat pada logika produksi dan efisiensi.
Logika Proyek dan Pasar
Selama
beberapa dekade terakhir, pendidikan tinggi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
pasar kerja. Pemerintah dan industri sama-sama mendorong agar lulusan “siap
pakai”. Maka sekolah dan universitas diarahkan untuk “link and match” dengan
dunia industri. Kata kunci seperti “daya saing global”, “efisiensi”, atau
“output learning” menjadi panduan utama, menggantikan perenungan filosofis
tentang makna belajar itu sendiri.
Pendidikan
pun diperlakukan layaknya proyek: ada target, ada indikator kinerja, ada
capaian kuantitatif. Namun dalam proses itu, manusia dikorbankan. Ia tidak lagi
dipandang sebagai subjek pembelajar, tetapi sebagai objek produksi pengetahuan.
Birokratisasi Pendidikan Tinggi
Jika logika
industri membentuk wajah luar pendidikan, maka logika birokrasi merusak
jantungnya dari dalam. Di perguruan tinggi, beban administrasi semakin
menumpuk. Dosen dituntut memenuhi angka kredit, menyusun laporan beban kerja,
dan mempublikasikan artikel di jurnal bereputasi, seringkali tanpa pertimbangan
relevansi sosial atau kebutuhan keilmuan jangka panjang.
Proses belajar-mengajar
pun makin mekanis: unggah RPS, isi absensi daring, selesaikan pertemuan. Tak
ada lagi ruang untuk eksplorasi, diskusi mendalam, atau dialog kultural yang
kritis. Akibatnya, banyak dosen merasa kelelahan, teralienasi dari dunia
akademik yang seharusnya mereka hidupi.
Gagal Membentuk Manusia
Hasil dari
sistem ini bukan hanya kegagalan struktural, tetapi juga kegagalan
eksistensial. Kita melihat banyak lulusan yang pintar secara teknis, tetapi
miskin kepekaan sosial. Mereka tahu cara menyusun presentasi, tetapi bingung
membaca realitas. Mereka fasih bicara inovasi, tetapi kaku saat diajak
berdialog tentang etika atau keadilan.
Paulo Freire
pernah mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukanlah proses menyalurkan
pengetahuan secara satu arah, melainkan proses pembebasan: “Pendidikan sejati
adalah praxis, tindakan dan refleksi manusia atas dunia untuk mengubahnya.”
Sayangnya, pendidikan kita hari ini justru menciptakan keterasingan. Ia
menghasilkan manusia-manusia yang cakap secara administratif, tetapi hampa
secara makna.
Kembali ke Akar Peradaban
Pendidikan
mesti dibebaskan dari jeratan proyek jangka pendek dan target angka. Ia harus
dipulihkan sebagai proses kebudayaan dan pencipta peradaban. Sekolah dan kampus
semestinya menjadi ruang hidup bagi seluruh penghuninya: ruang untuk berpikir,
berdialog, mempertanyakan, dan tumbuh bersama.
Negara perlu
berhenti memperlakukan pendidikan sebagai proyek politik atau target kinerja
semata. Ia harus melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang, tempat
bertumbuhnya nilai, karakter, dan kebijaksanaan. Para dosen dan guru harus
diberi ruang untuk menjadi intelektual yang reflektif, bukan hanya operator
kebijakan.
Jika tidak,
kita hanya akan melahirkan generasi yang terampil, tetapi tak tahu arah. Mereka
akan menguasai mesin, tetapi lupa bagaimana menjadi manusia.
Surabaya, 11 Maret 2024
Nanang
Kholidin,
Pengembang Teknologi Pembelajaran, UIN Sunan Ampel Surabaya.
No comments:
Post a Comment