Wednesday, April 16, 2025

Pendidikan yang Miskin Arah: Terjepit antara Industri dan Birokrasi

 

Pendidikan yang Miskin Arah: Terjepit antara Industri dan Birokrasi

Pendidikan seharusnya menjadi ruh peradaban. Namun dalam praktiknya hari ini, pendidikan justru terjebak dalam dua kutub ekstrem: logika industri dan kungkungan birokrasi. Di antara keduanya, kita kehilangan misi sejati pendidikan: membentuk manusia yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan.

Kurikulum berganti mengikuti irama kekuasaan, lembaga pendidikan lebih sibuk mengejar akreditasi dan peringkat, dan para pendidik terperangkap dalam rutinitas administratif. Pendidikan kita semakin menjauh dari ruh pembebasan dan makin dekat pada logika produksi dan efisiensi.

Logika Proyek dan Pasar

Selama beberapa dekade terakhir, pendidikan tinggi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pemerintah dan industri sama-sama mendorong agar lulusan “siap pakai”. Maka sekolah dan universitas diarahkan untuk “link and match” dengan dunia industri. Kata kunci seperti “daya saing global”, “efisiensi”, atau “output learning” menjadi panduan utama, menggantikan perenungan filosofis tentang makna belajar itu sendiri.

Pendidikan pun diperlakukan layaknya proyek: ada target, ada indikator kinerja, ada capaian kuantitatif. Namun dalam proses itu, manusia dikorbankan. Ia tidak lagi dipandang sebagai subjek pembelajar, tetapi sebagai objek produksi pengetahuan.

Birokratisasi Pendidikan Tinggi

Jika logika industri membentuk wajah luar pendidikan, maka logika birokrasi merusak jantungnya dari dalam. Di perguruan tinggi, beban administrasi semakin menumpuk. Dosen dituntut memenuhi angka kredit, menyusun laporan beban kerja, dan mempublikasikan artikel di jurnal bereputasi, seringkali tanpa pertimbangan relevansi sosial atau kebutuhan keilmuan jangka panjang.

Proses belajar-mengajar pun makin mekanis: unggah RPS, isi absensi daring, selesaikan pertemuan. Tak ada lagi ruang untuk eksplorasi, diskusi mendalam, atau dialog kultural yang kritis. Akibatnya, banyak dosen merasa kelelahan, teralienasi dari dunia akademik yang seharusnya mereka hidupi.

Gagal Membentuk Manusia

Hasil dari sistem ini bukan hanya kegagalan struktural, tetapi juga kegagalan eksistensial. Kita melihat banyak lulusan yang pintar secara teknis, tetapi miskin kepekaan sosial. Mereka tahu cara menyusun presentasi, tetapi bingung membaca realitas. Mereka fasih bicara inovasi, tetapi kaku saat diajak berdialog tentang etika atau keadilan.

Paulo Freire pernah mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukanlah proses menyalurkan pengetahuan secara satu arah, melainkan proses pembebasan: “Pendidikan sejati adalah praxis, tindakan dan refleksi manusia atas dunia untuk mengubahnya.” Sayangnya, pendidikan kita hari ini justru menciptakan keterasingan. Ia menghasilkan manusia-manusia yang cakap secara administratif, tetapi hampa secara makna.

Kembali ke Akar Peradaban

Pendidikan mesti dibebaskan dari jeratan proyek jangka pendek dan target angka. Ia harus dipulihkan sebagai proses kebudayaan dan pencipta peradaban. Sekolah dan kampus semestinya menjadi ruang hidup bagi seluruh penghuninya: ruang untuk berpikir, berdialog, mempertanyakan, dan tumbuh bersama.

Negara perlu berhenti memperlakukan pendidikan sebagai proyek politik atau target kinerja semata. Ia harus melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang, tempat bertumbuhnya nilai, karakter, dan kebijaksanaan. Para dosen dan guru harus diberi ruang untuk menjadi intelektual yang reflektif, bukan hanya operator kebijakan.

Jika tidak, kita hanya akan melahirkan generasi yang terampil, tetapi tak tahu arah. Mereka akan menguasai mesin, tetapi lupa bagaimana menjadi manusia.


Surabaya, 11 Maret 2024

Nanang Kholidin,
Pengembang Teknologi Pembelajaran, UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

No comments:

Post a Comment