Monday, April 21, 2025

Pendidikan Tinggi Islam di Persimpangan: Antara Komersialisasi dan Transformasi Digital

 

(Nanang Kholidin, S.Ag., M.Pd.I)

Abstrak Tulisan ini mengkaji secara kritis dua arus utama yang tengah membentuk wajah pendidikan tinggi Islam di Indonesia: komersialisasi dan transformasi digital. Di satu sisi, tekanan ekonomi mendorong institusi pendidikan untuk mengadopsi logika pasar demi bertahan. Di sisi lain, perkembangan teknologi menuntut institusi agar mengintegrasikan paradigma keilmuannya dengan dunia digital. Dalam konteks ini, tulisan ini mengajak pembaca untuk merefleksikan posisi strategis pendidikan tinggi Islam dalam menghadapi tantangan etika, spiritualitas, dan keotentikan akademik di era kecerdasan buatan. Melalui pendekatan reflektif dan kritis, tulisan ini menyoroti pentingnya transformasi budaya akademik agar institusi pendidikan tinggi Islam tidak sekadar beradaptasi secara teknis, tetapi juga mampu memimpin perubahan secara etis dan spiritual.



Pendahuluan Dua dekade terakhir menyaksikan perubahan mendasar dalam lanskap pendidikan tinggi, tidak terkecuali pendidikan tinggi Islam. Di tengah tekanan globalisasi dan revolusi teknologi, banyak institusi dipaksa untuk merespons dinamika dengan cara yang belum tentu sesuai dengan visi dan mandat keilmuan mereka. Di satu sisi, tekanan ekonomi dan kompetisi global mendorong universitas untuk menjalankan logika pasar. Di sisi lain, arus digitalisasi menuntut reformulasi cara berpikir, mengajar, dan memaknai ilmu pengetahuan. Pendidikan tinggi Islam berada di tengah pusaran ini, dengan beban ganda: menjaga nilai-nilai keislaman dan menjawab tantangan zaman.

Komersialisasi Pendidikan: Antara Keniscayaan dan Kehilangan Arah Komersialisasi pendidikan menjadikan ilmu sebagai komoditas. Institusi yang dulu bersandar pada idealisme pencerdasan bangsa, kini menghadapi realitas kebutuhan operasional, tuntutan kompetitif, dan keharusan untuk mandiri secara finansial. Namun, logika pasar yang terlalu dominan dapat menggerus esensi pendidikan sebagai proses pembebasan dan pemanusiaan. Pendidikan tinggi Islam, jika tidak kritis dalam menyikapi hal ini, berisiko mengalami disorientasi: mengedepankan kuantitas mahasiswa daripada kualitas keilmuan, dan lebih sibuk menjual program daripada membina pemikiran.

Digitalisasi Pendidikan: Peluang Integrasi atau Ancaman Dehumanisasi? Revolusi digital membawa dampak transformasional terhadap dunia pendidikan. Pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi proses pembelajaran, administrasi, dan interaksi akademik. Namun, adopsi teknologi tidak selalu diiringi dengan perubahan cara berpikir. Banyak kampus berlomba menampilkan infrastruktur canggih, namun budaya akademiknya tetap konvensional. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah digitalisasi membawa substansi atau hanya sekadar kosmetik?

Di sinilah pentingnya pendidikan tinggi Islam untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi pelaku aktif yang mampu mendialogkan paradigma keilmuannya dengan ekosistem digital. Kurikulum harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan etis dan filosofis baru yang muncul dari interaksi manusia dengan mesin, dari kecerdasan buatan hingga algoritma sosial.

Transformasi Budaya Akademik: Dari Infrastruktur ke Kesadaran Transformasi sejati tidak dimulai dari perangkat, melainkan dari kesadaran. Saat ini, tidak sedikit institusi pendidikan yang menampilkan wajah digital di permukaan, namun masih menyimpan pola pikir agraris dalam pengelolaan. Kita seringkali berlagak performatif secara teknologis, namun perilaku akademiknya belum berubah. Dosen masih alergi terhadap kolaborasi multidisipliner, birokrasi masih lamban, dan inovasi masih dipandang sebagai ancaman. Inilah paradoks terbesar dari transformasi digital: modernisasi tanpa pembaruan pola pikir.

Etika Digital dan Tantangan Keotentikan Akademik Era kecerdasan buatan memunculkan tantangan baru dalam dunia akademik: batas antara karya orisinal dan produk mesin menjadi kabur. Mahasiswa dapat menghasilkan esai dengan bantuan AI, dosen bisa membuat materi ajar dalam hitungan detik. Maka, pertanyaannya bergeser: siapa yang berpikir, siapa yang menulis, dan siapa yang bertanggung jawab? Etika digital dan integritas akademik harus menjadi bagian penting dari kurikulum dan budaya kampus.

Pendidikan tinggi Islam memiliki posisi strategis untuk menjadi penjaga etika dalam dunia digital. Melalui integrasi antara nilai-nilai keislaman dan pemahaman teknologi, kampus dapat menawarkan model pendidikan yang tidak hanya adaptif, tetapi juga bermartabat.

Penutup dan Rekomendasi Pendidikan tinggi Islam menghadapi dua tantangan besar: tekanan pasar dan revolusi digital. Menghadapi hal ini, dibutuhkan transformasi menyeluruh, bukan hanya dalam bentuk pelatihan teknologi atau penggalangan dana, tetapi juga dalam pembaruan cara berpikir dan orientasi keilmuan. Kurikulum harus diarahkan pada integrasi nilai dan sains, dosen dan tendik perlu dibekali literasi digital berbasis etika, dan manajemen kampus harus mulai meninggalkan pola lama yang tidak produktif.

Sebagaimana pesan Al-Qur'an:  اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ  

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka" Q.S. Ar-Ra’d: 11.

Pendidikan tinggi Islam tidak cukup hanya bertahan dalam arus zaman. Ia harus menjadi pelopor perubahan—yang bukan hanya cakap teknologi, tetapi juga jernih dalam nilai dan visi peradaban.



No comments:

Post a Comment