(Nanang Kholidin, S.Ag., M.Pd.I)
Abstrak Tulisan ini mengkaji secara kritis
dua arus utama yang tengah membentuk wajah pendidikan tinggi Islam di
Indonesia: komersialisasi dan transformasi digital. Di satu sisi, tekanan
ekonomi mendorong institusi pendidikan untuk mengadopsi logika pasar demi bertahan.
Di sisi lain, perkembangan teknologi menuntut institusi agar mengintegrasikan
paradigma keilmuannya dengan dunia digital. Dalam konteks ini, tulisan ini
mengajak pembaca untuk merefleksikan posisi strategis pendidikan tinggi Islam
dalam menghadapi tantangan etika, spiritualitas, dan keotentikan akademik di
era kecerdasan buatan. Melalui pendekatan reflektif dan kritis, tulisan ini
menyoroti pentingnya transformasi budaya akademik agar institusi pendidikan
tinggi Islam tidak sekadar beradaptasi secara teknis, tetapi juga mampu
memimpin perubahan secara etis dan spiritual.
Pendahuluan Dua dekade terakhir menyaksikan
perubahan mendasar dalam lanskap pendidikan tinggi, tidak terkecuali pendidikan
tinggi Islam. Di tengah tekanan globalisasi dan revolusi teknologi, banyak
institusi dipaksa untuk merespons dinamika dengan cara yang belum tentu sesuai
dengan visi dan mandat keilmuan mereka. Di satu sisi, tekanan ekonomi dan
kompetisi global mendorong universitas untuk menjalankan logika pasar. Di sisi
lain, arus digitalisasi menuntut reformulasi cara berpikir, mengajar, dan
memaknai ilmu pengetahuan. Pendidikan tinggi Islam berada di tengah pusaran
ini, dengan beban ganda: menjaga nilai-nilai keislaman dan menjawab tantangan
zaman.
Komersialisasi
Pendidikan: Antara Keniscayaan dan Kehilangan Arah Komersialisasi pendidikan
menjadikan ilmu sebagai komoditas. Institusi yang dulu bersandar pada idealisme
pencerdasan bangsa, kini menghadapi realitas kebutuhan operasional, tuntutan
kompetitif, dan keharusan untuk mandiri secara finansial. Namun, logika pasar
yang terlalu dominan dapat menggerus esensi pendidikan sebagai proses
pembebasan dan pemanusiaan. Pendidikan tinggi Islam, jika tidak kritis dalam
menyikapi hal ini, berisiko mengalami disorientasi: mengedepankan kuantitas
mahasiswa daripada kualitas keilmuan, dan lebih sibuk menjual program daripada
membina pemikiran.
Digitalisasi
Pendidikan: Peluang Integrasi atau Ancaman Dehumanisasi? Revolusi digital membawa dampak
transformasional terhadap dunia pendidikan. Pandemi COVID-19 mempercepat
digitalisasi proses pembelajaran, administrasi, dan interaksi akademik. Namun,
adopsi teknologi tidak selalu diiringi dengan perubahan cara berpikir. Banyak
kampus berlomba menampilkan infrastruktur canggih, namun budaya akademiknya
tetap konvensional. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah digitalisasi
membawa substansi atau hanya sekadar kosmetik?
Di sinilah
pentingnya pendidikan tinggi Islam untuk tidak hanya menjadi konsumen
teknologi, tetapi pelaku aktif yang mampu mendialogkan paradigma keilmuannya
dengan ekosistem digital. Kurikulum harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan
etis dan filosofis baru yang muncul dari interaksi manusia dengan mesin, dari
kecerdasan buatan hingga algoritma sosial.
Transformasi
Budaya Akademik: Dari Infrastruktur ke Kesadaran Transformasi sejati tidak dimulai
dari perangkat, melainkan dari kesadaran. Saat ini, tidak sedikit institusi
pendidikan yang menampilkan wajah digital di permukaan, namun masih menyimpan
pola pikir agraris dalam pengelolaan. Kita seringkali berlagak performatif
secara teknologis, namun perilaku akademiknya belum berubah. Dosen masih alergi
terhadap kolaborasi multidisipliner, birokrasi masih lamban, dan inovasi masih
dipandang sebagai ancaman. Inilah paradoks terbesar dari transformasi digital:
modernisasi tanpa pembaruan pola pikir.
Etika
Digital dan Tantangan Keotentikan Akademik Era kecerdasan buatan memunculkan tantangan baru
dalam dunia akademik: batas antara karya orisinal dan produk mesin menjadi
kabur. Mahasiswa dapat menghasilkan esai dengan bantuan AI, dosen bisa membuat
materi ajar dalam hitungan detik. Maka, pertanyaannya bergeser: siapa yang
berpikir, siapa yang menulis, dan siapa yang bertanggung jawab? Etika digital
dan integritas akademik harus menjadi bagian penting dari kurikulum dan budaya
kampus.
Pendidikan
tinggi Islam memiliki posisi strategis untuk menjadi penjaga etika dalam dunia
digital. Melalui integrasi antara nilai-nilai keislaman dan pemahaman
teknologi, kampus dapat menawarkan model pendidikan yang tidak hanya adaptif,
tetapi juga bermartabat.
Penutup dan
Rekomendasi Pendidikan
tinggi Islam menghadapi dua tantangan besar: tekanan pasar dan revolusi
digital. Menghadapi hal ini, dibutuhkan transformasi menyeluruh, bukan hanya
dalam bentuk pelatihan teknologi atau penggalangan dana, tetapi juga dalam
pembaruan cara berpikir dan orientasi keilmuan. Kurikulum harus diarahkan pada
integrasi nilai dan sains, dosen dan tendik perlu dibekali literasi digital
berbasis etika, dan manajemen kampus harus mulai meninggalkan pola lama yang
tidak produktif.
Sebagaimana pesan Al-Qur'an: اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka" Q.S. Ar-Ra’d: 11.
Pendidikan tinggi Islam tidak cukup hanya bertahan dalam arus zaman. Ia harus menjadi pelopor perubahan—yang bukan hanya cakap teknologi, tetapi juga jernih dalam nilai dan visi peradaban.
No comments:
Post a Comment