Wednesday, May 7, 2025

Supremasi Sipil dalam Bayang-bayang Militer: Transisi kekuasaan ke tangan seorang eks-jenderal membuka kembali perdebatan tentang peran militer dalam demokrasi

 

Oleh: Nanang Kholidin

Ratusan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari berbagai matra baru-baru ini berkumpul dalam sebuah pertemuan nasional yang menyedot perhatian publik. Mereka menyuarakan delapan tuntutan yang ditujukan langsung kepada Presiden terpilih, Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Dalam pernyataannya, para purnawirawan menegaskan bahwa aksi ini bukanlah bagian dari gerakan politik partisan, melainkan sebuah ekspresi keresahan kolektif—sebuah suara hati dari kelompok yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung pertahanan dan keamanan republik ini.

Momentum ini muncul di tengah menguatnya kembali wacana soal peran TNI dalam urusan sipil—isu yang selama era Reformasi berusaha dikebiri melalui penghapusan dwi fungsi ABRI. Namun, sinyal-sinyal tentang kebangkitan kembali peran ganda militer dalam ranah non-pertahanan mulai mencuat, apalagi setelah Rancangan Undang-Undang terkait peran TNI mengalami kebuntuan di parlemen dan gagal disahkan.

Pertanyaannya sederhana  ke mana arah TNI akan dibawa?

Keresahan para purnawirawan bukanlah bentuk nostalgia terhadap masa lampau, melainkan cermin kegelisahan atas masa depan. Mereka menyadari betul bagaimana sejarah mencatat luka-luka akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh institusi yang semestinya menjadi penjaga kedaulatan, bukan pengelola birokrasi sipil. Para purnawirawan ini—dengan segala pengalaman tempur, komando, dan pengabdian mereka—justru menjadi pengingat bahwa kekuatan militer harus tetap berada dalam rel konstitusional dan profesionalisme.

Delapan tuntutan yang mereka bawa bukan hanya soal institusi TNI, tapi juga menyangkut arah demokrasi, supremasi sipil, dan integritas kenegaraan. Mereka bicara soal perlunya pemimpin nasional menjaga marwah konstitusi, mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara, serta memperkuat ketahanan nasional yang berakar pada prinsip-prinsip keadilan sosial, bukan dominasi kekuasaan.

Kehadiran Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih tentu menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika ini. Ia adalah bagian dari komunitas militer, namun kini memegang kekuasaan sipil tertinggi. Ini memberi harapan sekaligus kekhawatiran: apakah ia mampu menjaga garis pemisah antara militerisme dan demokrasi, atau justru mengaburkannya?

Di titik ini, kita semua dihadapkan pada pilihan: tetap menjaga semangat reformasi dan profesionalisme TNI, atau membiarkan bangsa ini kembali terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan yang tak mengenal batas sipil dan militer.

Lalu mengapa TNI tidak sepenuhnya fokus pada tugas pokoknya, yakni pertahanan negara, di tengah situasi geopolitik global yang semakin kompleks dan mengancam?

Secara konstitusional  menurut UU TNI No. 34 Tahun 2004, tugas TNI sangat tegas: menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari ancaman militer dan bersenjata. Maka ketika TNI justru lebih sering terdengar dalam urusan domestik—seperti pengelolaan pangan, pembangunan infrastruktur, atau bahkan pengawasan pemilu—muncul pertanyaan besar: apa yang sedang terjadi? Sementara mereka memahami bahwa ketika kekuasaan mulai merambah wilayah yang bukan menjadi kodratnya, maka sejarah tak pernah lupa mencatat akibatnya.

Saat ini  geopolitik dunia sedang mendidih  berada di era ketegangan global:

  • Rivalitas AS–China kian panas, terutama di kawasan Indo-Pasifik.
  • Perang Rusia–Ukraina belum mereda.
  • Ancaman non-konvensional seperti serangan siber, proxy war, terorisme, dan bencana iklim sudah masuk ke wilayah pertahanan.
  • Di sekitar kita, Laut China Selatan terus menjadi medan sengketa yang sangat strategis bagi Indonesia.

Pertanyaan lanjutannya: bukankah ini saat yang paling tepat untuk TNI memperkuat posturnya, memperdalam interoperabilitas antar-matra, dan mempercepat modernisasi alutsista? Lalu mengapa TNI tertarik ke ranah sipil? Ada beberapa faktor setidaknya menjadi pertimbangannya:

  • Warisan sejarah dwi fungsi ABRI masih membekas, di mana militer pernah menjadi aktor politik dan birokrasi.
  • Kurangnya kejelasan soal operasi militer selain perang (OMSP), yang kerap dijadikan celah untuk masuk ke urusan sipil.
  • Adanya ketimpangan pengelolaan sumber daya nasional, yang membuat pemerintah sipil menggandeng TNI dalam proyek-proyek besar dengan alasan efisiensi dan kedisiplinan.
  • Dan tidak bisa dipungkiri: kekuasaan memang menggoda, bahkan bagi institusi yang mestinya steril dari urusan politik.

Jika TNI terus terseret dalam tugas-tugas non-pertahanan, dampaknya bisa berbahaya:

  • Negara jadi rentan secara militer karena perhatian dan sumber daya tidak difokuskan pada ancaman eksternal.
  • Profesionalisme prajurit terkikis, karena tugas-tugas mereka bergeser dari latihan tempur menjadi tugas-tugas administrasi sipil.
  • Demokrasi sipil melemah, karena dominasi militer dalam kehidupan publik akan menyempitkan ruang kebebasan sipil dan partisipasi masyarakat.

 

Kembali ke Titik Kritis: Di Mana Peran TNI?

Para purnawirawan yang bersuara kemarin sesungguhnya  harus memahami bahwa kekuatan militer sejati bukan di kursi kekuasaan, tapi di medan tempur, di garis pertahanan, dan di dedikasi menjaga bangsa dari ancaman luar.

Jika TNI ingin dihormati sebagai pilar pertahanan negara, maka ia harus kembali ke jalur utamanya. Di tengah dunia yang bergolak, Indonesia tidak butuh TNI yang sibuk mengurusi dapur sipil, tapi yang siaga menjaga gerbang negeri.

Jika TNI terus larut dalam urusan non-pertahanan, dampaknya tidak bisa dianggap remeh. Profesionalisme prajurit akan tergerus, kewibawaan institusi terancam, dan yang lebih serius: negara akan kehilangan fokus menghadapi ancaman eksternal yang semakin nyata dan kompleks. Lebih jauh, dominasi militer dalam kehidupan sipil akan mempersempit ruang Militer yang profesional adalah militer yang siap siaga menjaga gerbang negara—bukan yang sibuk di meja birokrasi sipil.

Okelah apa yang mereka sampaikan mungkin sekadar kritik dan seruan untuk kembali ke rel konstitusi yang benar. Dan mungkin, seperti kata mereka, ini bukan tentang siapa yang memimpin, tapi ke mana bangsa ini akan dipimpin jika demikian harapannya maka TNI tetap dalam posisi terhormat dan dicintai rakyatnya.

 

Monday, April 21, 2025

Pendidikan Tinggi Islam di Persimpangan: Antara Komersialisasi dan Transformasi Digital

 

(Nanang Kholidin, S.Ag., M.Pd.I)

Abstrak Tulisan ini mengkaji secara kritis dua arus utama yang tengah membentuk wajah pendidikan tinggi Islam di Indonesia: komersialisasi dan transformasi digital. Di satu sisi, tekanan ekonomi mendorong institusi pendidikan untuk mengadopsi logika pasar demi bertahan. Di sisi lain, perkembangan teknologi menuntut institusi agar mengintegrasikan paradigma keilmuannya dengan dunia digital. Dalam konteks ini, tulisan ini mengajak pembaca untuk merefleksikan posisi strategis pendidikan tinggi Islam dalam menghadapi tantangan etika, spiritualitas, dan keotentikan akademik di era kecerdasan buatan. Melalui pendekatan reflektif dan kritis, tulisan ini menyoroti pentingnya transformasi budaya akademik agar institusi pendidikan tinggi Islam tidak sekadar beradaptasi secara teknis, tetapi juga mampu memimpin perubahan secara etis dan spiritual.



Pendahuluan Dua dekade terakhir menyaksikan perubahan mendasar dalam lanskap pendidikan tinggi, tidak terkecuali pendidikan tinggi Islam. Di tengah tekanan globalisasi dan revolusi teknologi, banyak institusi dipaksa untuk merespons dinamika dengan cara yang belum tentu sesuai dengan visi dan mandat keilmuan mereka. Di satu sisi, tekanan ekonomi dan kompetisi global mendorong universitas untuk menjalankan logika pasar. Di sisi lain, arus digitalisasi menuntut reformulasi cara berpikir, mengajar, dan memaknai ilmu pengetahuan. Pendidikan tinggi Islam berada di tengah pusaran ini, dengan beban ganda: menjaga nilai-nilai keislaman dan menjawab tantangan zaman.

Komersialisasi Pendidikan: Antara Keniscayaan dan Kehilangan Arah Komersialisasi pendidikan menjadikan ilmu sebagai komoditas. Institusi yang dulu bersandar pada idealisme pencerdasan bangsa, kini menghadapi realitas kebutuhan operasional, tuntutan kompetitif, dan keharusan untuk mandiri secara finansial. Namun, logika pasar yang terlalu dominan dapat menggerus esensi pendidikan sebagai proses pembebasan dan pemanusiaan. Pendidikan tinggi Islam, jika tidak kritis dalam menyikapi hal ini, berisiko mengalami disorientasi: mengedepankan kuantitas mahasiswa daripada kualitas keilmuan, dan lebih sibuk menjual program daripada membina pemikiran.

Digitalisasi Pendidikan: Peluang Integrasi atau Ancaman Dehumanisasi? Revolusi digital membawa dampak transformasional terhadap dunia pendidikan. Pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi proses pembelajaran, administrasi, dan interaksi akademik. Namun, adopsi teknologi tidak selalu diiringi dengan perubahan cara berpikir. Banyak kampus berlomba menampilkan infrastruktur canggih, namun budaya akademiknya tetap konvensional. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah digitalisasi membawa substansi atau hanya sekadar kosmetik?

Di sinilah pentingnya pendidikan tinggi Islam untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi pelaku aktif yang mampu mendialogkan paradigma keilmuannya dengan ekosistem digital. Kurikulum harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan etis dan filosofis baru yang muncul dari interaksi manusia dengan mesin, dari kecerdasan buatan hingga algoritma sosial.

Transformasi Budaya Akademik: Dari Infrastruktur ke Kesadaran Transformasi sejati tidak dimulai dari perangkat, melainkan dari kesadaran. Saat ini, tidak sedikit institusi pendidikan yang menampilkan wajah digital di permukaan, namun masih menyimpan pola pikir agraris dalam pengelolaan. Kita seringkali berlagak performatif secara teknologis, namun perilaku akademiknya belum berubah. Dosen masih alergi terhadap kolaborasi multidisipliner, birokrasi masih lamban, dan inovasi masih dipandang sebagai ancaman. Inilah paradoks terbesar dari transformasi digital: modernisasi tanpa pembaruan pola pikir.

Etika Digital dan Tantangan Keotentikan Akademik Era kecerdasan buatan memunculkan tantangan baru dalam dunia akademik: batas antara karya orisinal dan produk mesin menjadi kabur. Mahasiswa dapat menghasilkan esai dengan bantuan AI, dosen bisa membuat materi ajar dalam hitungan detik. Maka, pertanyaannya bergeser: siapa yang berpikir, siapa yang menulis, dan siapa yang bertanggung jawab? Etika digital dan integritas akademik harus menjadi bagian penting dari kurikulum dan budaya kampus.

Pendidikan tinggi Islam memiliki posisi strategis untuk menjadi penjaga etika dalam dunia digital. Melalui integrasi antara nilai-nilai keislaman dan pemahaman teknologi, kampus dapat menawarkan model pendidikan yang tidak hanya adaptif, tetapi juga bermartabat.

Penutup dan Rekomendasi Pendidikan tinggi Islam menghadapi dua tantangan besar: tekanan pasar dan revolusi digital. Menghadapi hal ini, dibutuhkan transformasi menyeluruh, bukan hanya dalam bentuk pelatihan teknologi atau penggalangan dana, tetapi juga dalam pembaruan cara berpikir dan orientasi keilmuan. Kurikulum harus diarahkan pada integrasi nilai dan sains, dosen dan tendik perlu dibekali literasi digital berbasis etika, dan manajemen kampus harus mulai meninggalkan pola lama yang tidak produktif.

Sebagaimana pesan Al-Qur'an:  اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ  

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka" Q.S. Ar-Ra’d: 11.

Pendidikan tinggi Islam tidak cukup hanya bertahan dalam arus zaman. Ia harus menjadi pelopor perubahan—yang bukan hanya cakap teknologi, tetapi juga jernih dalam nilai dan visi peradaban.



Wednesday, April 16, 2025

Komersialisasi Pendidikan

 

Artikel Opini: Komersialisasi Pendidikan

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia pendidikan telah mengalami transformasi signifikan dengan munculnya konsep komersialisasi pendidikan. Fenomena ini memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi, pemerhati pendidikan, dan masyarakat luas. Pertanyaannya, apakah pendidikan harus dilihat sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan atau sebagai hak dasar yang harus diakses oleh setiap individu tanpa diskriminasi? Artikel ini bertujuan untuk mengkaji komersialisasi pendidikan dari perspektif kritis, mengevaluasi dampaknya, dan menawarkan rekomendasi untuk masa depan yang lebih adil dan inklusif.

Komersialisasi Pendidikan: Pengertian dan Latar Belakang

Komersialisasi pendidikan merujuk pada proses di mana pendidikan, yang seharusnya menjadi layanan publik, diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan di pasar. Ini mencakup praktik-praktik seperti privatisasi institusi pendidikan, penetapan biaya pendidikan yang tinggi, serta masuknya perusahaan-perusahaan komersial dalam penyediaan layanan pendidikan.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan paradigma ini dimulai pada akhir abad ke-20, didorong oleh kebijakan neoliberal yang mendorong privatisasi dan deregulasi di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris menjadi pelopor dalam menerapkan model ini, yang kemudian diikuti oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia .

Dampak Positif Komersialisasi Pendidikan

Tidak dapat dipungkiri, komersialisasi pendidikan telah membawa beberapa dampak positif. Salah satunya adalah peningkatan kualitas fasilitas dan sumber daya pendidikan. Institusi pendidikan yang dikelola secara komersial cenderung memiliki sumber daya finansial yang lebih baik untuk menyediakan fasilitas modern, laboratorium canggih, serta bahan ajar yang up-to-date .

Selain itu, komersialisasi juga mendorong inovasi dan pengembangan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan industri. Dengan adanya persaingan antar institusi pendidikan, banyak sekolah dan universitas berlomba-lomba untuk menawarkan program studi yang lebih menarik dan sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja .

Terakhir, komersialisasi memberikan lebih banyak pilihan bagi siswa dan orang tua. Mereka dapat memilih institusi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka, baik dari segi kualitas, fasilitas, maupun biaya .

Dampak Negatif Komersialisasi Pendidikan

Namun, dampak negatif komersialisasi pendidikan jauh lebih signifikan dan meresahkan. Pertama, kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar. Institusi pendidikan berkualitas tinggi dengan biaya mahal hanya dapat diakses oleh kelompok ekonomi atas, sementara kelompok ekonomi lemah terpinggirkan dan harus puas dengan pendidikan yang kurang memadai .

Kedua, fokus pada keuntungan finansial sering kali menyebabkan penurunan kualitas pendidikan itu sendiri. Banyak institusi yang lebih mementingkan jumlah siswa daripada kualitas pengajaran, serta lebih mengutamakan program-program yang mendatangkan keuntungan cepat daripada penelitian jangka panjang dan pengembangan intelektual .

Ketiga, komersialisasi pendidikan dapat mengarah pada dehumanisasi pendidikan itu sendiri. Ketika pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan mulai terabaikan. Pendidikan seharusnya tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja yang kompeten, tetapi juga individu yang memiliki integritas, empati, dan kesadaran sosial .

Studi Kasus: Komersialisasi Pendidikan di Indonesia

Di Indonesia, komersialisasi pendidikan telah menunjukkan dampak yang nyata. Banyak universitas swasta yang menawarkan program-program unggulan dengan biaya selangit, yang hanya dapat diakses oleh segelintir masyarakat. Data menunjukkan bahwa ketimpangan akses pendidikan antara kelompok kaya dan miskin semakin meningkat .

Sebagai contoh, biaya pendidikan di beberapa universitas ternama di Indonesia bisa mencapai puluhan juta rupiah per semester, sementara upah minimum regional (UMR) masih jauh dari cukup untuk menutupi biaya tersebut. Akibatnya, banyak siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu terpaksa mengubur impian mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi .

Kesimpulan dan Rekomendasi

Komersialisasi pendidikan memang membawa beberapa dampak positif, namun dampak negatifnya jauh lebih merusak dan mengkhawatirkan. Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar setiap individu, bukan komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih adil dan inklusif dalam sistem pendidikan. Pemerintah harus berperan aktif dalam memastikan akses pendidikan yang merata bagi semua lapisan masyarakat, tanpa memandang status ekonomi. Institusi pendidikan juga harus kembali pada esensi pendidikan yang sebenarnya, yaitu membentuk individu yang berpengetahuan, bermoral, dan berintegritas.

Akhirnya, kalangan akademisi dan pembuat kebijakan harus merenungkan dan bertindak untuk mengembalikan pendidikan pada jalur yang benar. Pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa, dan tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Mari kita bersama-sama berjuang untuk sistem pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan humanis.



Nanang Kholidin,
Pengembang Teknologi Pembelajaran, UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

 

Pendidikan yang Miskin Arah: Terjepit antara Industri dan Birokrasi

 

Pendidikan yang Miskin Arah: Terjepit antara Industri dan Birokrasi

Pendidikan seharusnya menjadi ruh peradaban. Namun dalam praktiknya hari ini, pendidikan justru terjebak dalam dua kutub ekstrem: logika industri dan kungkungan birokrasi. Di antara keduanya, kita kehilangan misi sejati pendidikan: membentuk manusia yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan.

Kurikulum berganti mengikuti irama kekuasaan, lembaga pendidikan lebih sibuk mengejar akreditasi dan peringkat, dan para pendidik terperangkap dalam rutinitas administratif. Pendidikan kita semakin menjauh dari ruh pembebasan dan makin dekat pada logika produksi dan efisiensi.

Logika Proyek dan Pasar

Selama beberapa dekade terakhir, pendidikan tinggi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pemerintah dan industri sama-sama mendorong agar lulusan “siap pakai”. Maka sekolah dan universitas diarahkan untuk “link and match” dengan dunia industri. Kata kunci seperti “daya saing global”, “efisiensi”, atau “output learning” menjadi panduan utama, menggantikan perenungan filosofis tentang makna belajar itu sendiri.

Pendidikan pun diperlakukan layaknya proyek: ada target, ada indikator kinerja, ada capaian kuantitatif. Namun dalam proses itu, manusia dikorbankan. Ia tidak lagi dipandang sebagai subjek pembelajar, tetapi sebagai objek produksi pengetahuan.

Birokratisasi Pendidikan Tinggi

Jika logika industri membentuk wajah luar pendidikan, maka logika birokrasi merusak jantungnya dari dalam. Di perguruan tinggi, beban administrasi semakin menumpuk. Dosen dituntut memenuhi angka kredit, menyusun laporan beban kerja, dan mempublikasikan artikel di jurnal bereputasi, seringkali tanpa pertimbangan relevansi sosial atau kebutuhan keilmuan jangka panjang.

Proses belajar-mengajar pun makin mekanis: unggah RPS, isi absensi daring, selesaikan pertemuan. Tak ada lagi ruang untuk eksplorasi, diskusi mendalam, atau dialog kultural yang kritis. Akibatnya, banyak dosen merasa kelelahan, teralienasi dari dunia akademik yang seharusnya mereka hidupi.

Gagal Membentuk Manusia

Hasil dari sistem ini bukan hanya kegagalan struktural, tetapi juga kegagalan eksistensial. Kita melihat banyak lulusan yang pintar secara teknis, tetapi miskin kepekaan sosial. Mereka tahu cara menyusun presentasi, tetapi bingung membaca realitas. Mereka fasih bicara inovasi, tetapi kaku saat diajak berdialog tentang etika atau keadilan.

Paulo Freire pernah mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukanlah proses menyalurkan pengetahuan secara satu arah, melainkan proses pembebasan: “Pendidikan sejati adalah praxis, tindakan dan refleksi manusia atas dunia untuk mengubahnya.” Sayangnya, pendidikan kita hari ini justru menciptakan keterasingan. Ia menghasilkan manusia-manusia yang cakap secara administratif, tetapi hampa secara makna.

Kembali ke Akar Peradaban

Pendidikan mesti dibebaskan dari jeratan proyek jangka pendek dan target angka. Ia harus dipulihkan sebagai proses kebudayaan dan pencipta peradaban. Sekolah dan kampus semestinya menjadi ruang hidup bagi seluruh penghuninya: ruang untuk berpikir, berdialog, mempertanyakan, dan tumbuh bersama.

Negara perlu berhenti memperlakukan pendidikan sebagai proyek politik atau target kinerja semata. Ia harus melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang, tempat bertumbuhnya nilai, karakter, dan kebijaksanaan. Para dosen dan guru harus diberi ruang untuk menjadi intelektual yang reflektif, bukan hanya operator kebijakan.

Jika tidak, kita hanya akan melahirkan generasi yang terampil, tetapi tak tahu arah. Mereka akan menguasai mesin, tetapi lupa bagaimana menjadi manusia.


Surabaya, 11 Maret 2024

Nanang Kholidin,
Pengembang Teknologi Pembelajaran, UIN Sunan Ampel Surabaya.