Oleh: Nanang Kholidin
Ratusan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dari berbagai matra baru-baru ini berkumpul dalam sebuah pertemuan nasional
yang menyedot perhatian publik. Mereka menyuarakan delapan tuntutan yang
ditujukan langsung kepada Presiden terpilih, Letjen (Purn) Prabowo Subianto.
Dalam pernyataannya, para purnawirawan menegaskan bahwa aksi ini bukanlah
bagian dari gerakan politik partisan, melainkan sebuah ekspresi keresahan kolektif—sebuah suara hati dari kelompok yang
selama puluhan tahun menjadi tulang punggung pertahanan dan keamanan republik
ini.
Momentum ini muncul di tengah menguatnya kembali
wacana soal peran TNI dalam urusan sipil—isu yang selama era Reformasi berusaha
dikebiri melalui penghapusan dwi fungsi ABRI. Namun, sinyal-sinyal
tentang kebangkitan kembali peran ganda militer dalam ranah non-pertahanan
mulai mencuat, apalagi setelah Rancangan Undang-Undang terkait peran TNI
mengalami kebuntuan di parlemen dan gagal disahkan.
Pertanyaannya sederhana ke mana arah TNI akan dibawa?
Keresahan para purnawirawan bukanlah bentuk nostalgia
terhadap masa lampau, melainkan cermin kegelisahan atas masa depan. Mereka
menyadari betul bagaimana sejarah mencatat luka-luka akibat penyalahgunaan
kekuasaan oleh institusi yang semestinya menjadi penjaga kedaulatan, bukan
pengelola birokrasi sipil. Para purnawirawan ini—dengan segala pengalaman
tempur, komando, dan pengabdian mereka—justru menjadi pengingat bahwa kekuatan
militer harus tetap berada dalam rel konstitusional dan profesionalisme.
Delapan tuntutan yang mereka bawa bukan hanya soal
institusi TNI, tapi juga menyangkut arah demokrasi, supremasi sipil, dan
integritas kenegaraan. Mereka bicara soal perlunya pemimpin nasional menjaga
marwah konstitusi, mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara,
serta memperkuat ketahanan nasional yang berakar pada prinsip-prinsip keadilan
sosial, bukan dominasi kekuasaan.
Kehadiran Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai
Presiden terpilih tentu menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika ini. Ia
adalah bagian dari komunitas militer, namun kini memegang kekuasaan sipil
tertinggi. Ini memberi harapan sekaligus kekhawatiran: apakah ia mampu menjaga
garis pemisah antara militerisme dan demokrasi, atau justru mengaburkannya?
Di titik ini, kita semua dihadapkan pada pilihan:
tetap menjaga semangat reformasi dan profesionalisme TNI, atau membiarkan
bangsa ini kembali terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan yang tak mengenal
batas sipil dan militer.
Lalu mengapa TNI tidak sepenuhnya fokus pada tugas pokoknya, yakni pertahanan negara, di tengah situasi geopolitik global yang semakin kompleks dan mengancam?
Secara konstitusional menurut UU TNI No. 34 Tahun 2004, tugas TNI
sangat tegas: menjaga kedaulatan,
keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari ancaman militer dan bersenjata.
Maka ketika TNI justru lebih sering terdengar dalam urusan domestik—seperti
pengelolaan pangan, pembangunan infrastruktur, atau bahkan pengawasan
pemilu—muncul pertanyaan besar: apa yang sedang terjadi? Sementara mereka memahami bahwa ketika
kekuasaan mulai merambah wilayah yang bukan menjadi kodratnya, maka sejarah tak
pernah lupa mencatat akibatnya.
Saat ini geopolitik
dunia sedang mendidih berada di era ketegangan global:
- Rivalitas
AS–China kian panas, terutama di kawasan Indo-Pasifik.
- Perang
Rusia–Ukraina belum mereda.
- Ancaman
non-konvensional seperti serangan siber, proxy war, terorisme, dan bencana
iklim sudah masuk ke wilayah pertahanan.
- Di
sekitar kita, Laut China Selatan terus menjadi medan sengketa yang sangat
strategis bagi Indonesia.
Pertanyaan lanjutannya: bukankah ini saat yang
paling tepat untuk TNI memperkuat posturnya, memperdalam interoperabilitas
antar-matra, dan mempercepat modernisasi alutsista? Lalu mengapa
TNI tertarik ke ranah sipil? Ada beberapa faktor setidaknya menjadi pertimbangannya:
- Warisan
sejarah dwi fungsi ABRI masih membekas, di mana militer pernah menjadi
aktor politik dan birokrasi.
- Kurangnya
kejelasan soal operasi militer selain perang (OMSP), yang kerap dijadikan celah
untuk masuk ke urusan sipil.
- Adanya
ketimpangan pengelolaan sumber daya nasional, yang membuat pemerintah sipil
menggandeng TNI dalam proyek-proyek besar dengan alasan efisiensi dan
kedisiplinan.
- Dan
tidak bisa dipungkiri: kekuasaan memang menggoda, bahkan bagi
institusi yang mestinya steril dari urusan politik.
Jika TNI terus terseret dalam tugas-tugas
non-pertahanan, dampaknya bisa berbahaya:
- Negara
jadi rentan secara militer karena perhatian dan sumber daya tidak
difokuskan pada ancaman eksternal.
- Profesionalisme
prajurit terkikis, karena tugas-tugas mereka bergeser dari latihan
tempur menjadi tugas-tugas administrasi sipil.
- Demokrasi
sipil melemah,
karena dominasi militer dalam kehidupan publik akan menyempitkan ruang
kebebasan sipil dan partisipasi masyarakat.
Kembali ke Titik Kritis: Di Mana Peran TNI?
Para purnawirawan yang bersuara kemarin sesungguhnya harus memahami bahwa kekuatan militer sejati
bukan di kursi kekuasaan, tapi di medan tempur, di garis pertahanan, dan di
dedikasi menjaga bangsa dari ancaman luar.
Jika TNI ingin dihormati sebagai pilar pertahanan
negara, maka ia harus kembali ke jalur utamanya. Di tengah dunia yang bergolak,
Indonesia tidak butuh TNI yang sibuk mengurusi dapur sipil, tapi yang siaga
menjaga gerbang negeri.
Jika TNI terus larut dalam urusan non-pertahanan,
dampaknya tidak bisa dianggap remeh. Profesionalisme prajurit akan tergerus,
kewibawaan institusi terancam, dan yang lebih serius: negara akan kehilangan
fokus menghadapi ancaman eksternal yang semakin nyata dan kompleks. Lebih jauh,
dominasi militer dalam kehidupan sipil akan mempersempit ruang Militer yang
profesional adalah militer yang siap siaga menjaga gerbang negara—bukan yang
sibuk di meja birokrasi sipil.
Okelah apa yang mereka sampaikan mungkin sekadar
kritik dan seruan untuk kembali ke rel konstitusi yang benar. Dan mungkin,
seperti kata mereka, ini bukan tentang siapa yang memimpin, tapi ke mana
bangsa ini akan dipimpin jika demikian harapannya maka TNI tetap dalam posisi
terhormat dan dicintai rakyatnya.